Mulai pekan ini, setiap Selasa akan ada tulisan-tulisan ringan dari Iqbal Aji Daryono. Iqbal adalah seorang netizen aktif yang menulis di banyak media online. Asli dari Bantul, Yogyakarta, kini ia bermukim sementara di Australia, untuk menemani istri tercinta yang tengah menempuh studi doktoralnya. Selama di Australia, Iqbal menjalani pekerjaan kerah biru sebagai sopir di perusahaan logistik. Pengalaman multikulturnya selama bergaul dengan para imigran kelas bawah Australia tertuang dalam bukunya, "Out of The Truck Box".
Tulisan-tulisan Iqbal ringan namun sungguh 'menyentil'. Selamat menikmati tulisan Iqbal dalam "Sentilan Iqbal Aji Daryono"!
Mobil itu mengerem mendadak, lima meter di sebelah kiri saya. Saya tratapan kaget. Kagetnya sekilo, malunya sekuintal. Malu, karena merasa tidak beradab, tidak terpelajar, dan lebih-lebih lagi karena kami membawa visualisasi identitas kami sebagai muslim.
Siang itu saya bersama anak-istri sedang berjalan-jalan di daerah Fremantle. Tiba di satu lampu merah, kami berhenti sebentar. Sebentar saja, sebab meski lampu penyeberangan pejalan kali belum menyala hijau, toh tak ada kendaraan berjalan ke arah kami. Saya pun mengajak pasukan untuk cuek saja nyelonong, sebagaimana biasa saya lakukan. Toh orang-orang bule lokal di Perth pun melakukannya, begitu pikir saya.
Hingga tiba-tiba mobil itu mendadak muncul entah dari mana, dan mengerem tiba-tiba. Meski pengemudinya memasang wajah datar penuh permakluman dan tidak membunyikan klakson panjang tanda amarah, tetap saja belasan pasang mata menatap kami. Mereka tampak sebal campur jijik. Dasar imigran. Dasar Asia. Dasar muslim.
Tentu saja umpatan-umpatan itu cuma imajinasi buruk saya sendiri. Tapi ya bagaimana lagi. Toh istri saya berjilbab. Sementara sudah pasti mereka paham bahwa perempuan berjilbab pastilah muslim.
Sejak hari itu saya kapok. Terutama jika sedang bersama istri, ibu, atau siapa pun teman atau saudara yang berjilbab alias membawa identitas keislaman, nggak lagi-lagi deh saya melanggar peraturan sekecil apa pun di tanah ini. Ini perkara branding. Ini perkara membela Islam. Jangan ketawa dulu, ini serius.
Sejak 2013 hingga insyaallah tahun depan, kami sekeluarga tinggal sementara di Perth, Australia Barat. Selama di sini pula kami merasakan langsung bagaimana situasi psikologis menjadi minoritas. Populasi umat muslim di negara bagian Australia Barat cuma 1,7%, dan kami menjadi bagian darinya.
Memang benar, ini negara aman. Secara umum tak ada diskriminasi secara telanjang kepada minoritas. Namun suasana tegang dan sangat tidak nyaman selalu kami rasakan tiap kali muncul kejadian-kejadian buruk yang melibatkan umat Islam di belahan dunia mana pun.
Mau yang mana, silakan sebut saja. Mulai 911, Sydney Siege, Bom Bali I dan II, aksi-aksi brutal Taliban di Afghanistan, dan entah mana lagi. Semua memunculkan efek negatif hingga ke umat muslim Australia.
Efek negatif itu bermacam-macam. Mulai dari diumpati di jalan, dilempari tomat, ditarik-paksa jilbabnya, diancam siraman air keras, hingga diteror dengan bom. Benar, Ramadan lalu, di Masjid Thornlie sekitar 20 km dari tempat tinggal saya, beberapa mobil dirusak, dan tulisan-tulisan bernada kebencian kepada Islam dicoretkan. Peristiwa itu melengkapi kisah sebelumnya, ketika sebongkah kepala babi ditaruh di toilet musala University of Western Australia.
Itu baru aksi-aksi yang dilakukan orang tak dikenal. Belum lagi suasana dalam kehidupan sosial. Saya ingat, betapa sangat tidak mengenakkannya tatapan teman-teman saya sesama sopir pada suatu pagi, ketika malam sebelumnya tersebar berita tentara Taliban membantai 132 anak sekolah di Peshawar.
Demikianlah situasi kami di sini. Saya tahu, itu tandanya marwah agama harus dibela. Dengan cara apa?(dtk)


Mobil itu mengerem mendadak, lima meter di sebelah kiri saya. Saya tratapan kaget. Kagetnya sekilo, malunya sekuintal. Malu, karena merasa tidak beradab, tidak terpelajar, dan lebih-lebih lagi karena kami membawa visualisasi identitas kami sebagai muslim.
Siang itu saya bersama anak-istri sedang berjalan-jalan di daerah Fremantle. Tiba di satu lampu merah, kami berhenti sebentar. Sebentar saja, sebab meski lampu penyeberangan pejalan kali belum menyala hijau, toh tak ada kendaraan berjalan ke arah kami. Saya pun mengajak pasukan untuk cuek saja nyelonong, sebagaimana biasa saya lakukan. Toh orang-orang bule lokal di Perth pun melakukannya, begitu pikir saya.
Hingga tiba-tiba mobil itu mendadak muncul entah dari mana, dan mengerem tiba-tiba. Meski pengemudinya memasang wajah datar penuh permakluman dan tidak membunyikan klakson panjang tanda amarah, tetap saja belasan pasang mata menatap kami. Mereka tampak sebal campur jijik. Dasar imigran. Dasar Asia. Dasar muslim.
Tentu saja umpatan-umpatan itu cuma imajinasi buruk saya sendiri. Tapi ya bagaimana lagi. Toh istri saya berjilbab. Sementara sudah pasti mereka paham bahwa perempuan berjilbab pastilah muslim.
Sejak hari itu saya kapok. Terutama jika sedang bersama istri, ibu, atau siapa pun teman atau saudara yang berjilbab alias membawa identitas keislaman, nggak lagi-lagi deh saya melanggar peraturan sekecil apa pun di tanah ini. Ini perkara branding. Ini perkara membela Islam. Jangan ketawa dulu, ini serius.
Sejak 2013 hingga insyaallah tahun depan, kami sekeluarga tinggal sementara di Perth, Australia Barat. Selama di sini pula kami merasakan langsung bagaimana situasi psikologis menjadi minoritas. Populasi umat muslim di negara bagian Australia Barat cuma 1,7%, dan kami menjadi bagian darinya.
Memang benar, ini negara aman. Secara umum tak ada diskriminasi secara telanjang kepada minoritas. Namun suasana tegang dan sangat tidak nyaman selalu kami rasakan tiap kali muncul kejadian-kejadian buruk yang melibatkan umat Islam di belahan dunia mana pun.
Mau yang mana, silakan sebut saja. Mulai 911, Sydney Siege, Bom Bali I dan II, aksi-aksi brutal Taliban di Afghanistan, dan entah mana lagi. Semua memunculkan efek negatif hingga ke umat muslim Australia.
Efek negatif itu bermacam-macam. Mulai dari diumpati di jalan, dilempari tomat, ditarik-paksa jilbabnya, diancam siraman air keras, hingga diteror dengan bom. Benar, Ramadan lalu, di Masjid Thornlie sekitar 20 km dari tempat tinggal saya, beberapa mobil dirusak, dan tulisan-tulisan bernada kebencian kepada Islam dicoretkan. Peristiwa itu melengkapi kisah sebelumnya, ketika sebongkah kepala babi ditaruh di toilet musala University of Western Australia.
Itu baru aksi-aksi yang dilakukan orang tak dikenal. Belum lagi suasana dalam kehidupan sosial. Saya ingat, betapa sangat tidak mengenakkannya tatapan teman-teman saya sesama sopir pada suatu pagi, ketika malam sebelumnya tersebar berita tentara Taliban membantai 132 anak sekolah di Peshawar.
Demikianlah situasi kami di sini. Saya tahu, itu tandanya marwah agama harus dibela. Dengan cara apa?(dtk)
No comments:
Write comments